Sas-Sus

Ruang Baca, Koran Tempo, Edisi 24 January 2006: Cerita Sampul

RASA CIANJUR

Tolkien atau Rowling jelas-jelas mengacu pada dongeng negeri para pengelana ini mengingat eratnya akar cerita mereka dengan legenda sejenis Beowulf dan legenda sihir milik bangsa Viking.

Meski mengaku tidak terpengaruh oleh karya-karya yang ia baca, tidak pelak kesan yang tertangkap saat membaca karya setebal 400-an halaman itu tetap saja sebuah “bayangan” Tolkien, Rowling, atau Lewis. Itu tampak pada pilihan seting dan penokohan cerita yang mengacu pada era Anglosaxon dan Skandinavia atau akar bangsa-bangsa Normandi.

Pilihan seting ini menjadi kecenderungan fantasi epik pada umumnya. Tidak heran mengingat akar budaya fantasi epik pada dasarnya adalah dongeng dan legenda negeri yang berakar pada budaya pengelanaan. Tolkien atau Rowling jelas-jelas mengacu pada dongeng negeri para pengelana ini mengingat eratnya akar cerita mereka dengan legenda sejenis Beowulf dan legenda sihir milik bangsa Viking.

Aroma lainnya yang tercium dalam kebanyakan fiksi fantasi lokal latar belakang tokoh yang hampir seluruhnya bernuansa patria, atau sekolahsekolah berasrama, tempat tokoh protagonisnya menuntut ilmu. Pada perkembangan awal fantasi epik di negeri Skandinavia, mudah ditebak jika pilihan tema bernuansa agama ini demikian populer mengingat sebagian besar wilayah itu tengah diliputi gairah religius yang besar setelah abad filsafat menampakkan masa suramnya.

Mitologi juga menjadi sumber ilham para penulis lokal. Ini diakui oleh penulis Ledgard, W.D Yoga yang memasukkan karakter mitologi dalam novelnya. Kurcaci, Centaur, dan peri adalah makluk yang biasa ditemui dalam mitologi Yunani dan kisah-kisah barat lainnya. Meski demikian ia mengaku tetap menciptakan karakter asli dari pengamatannya sendiri.

Agaknya, karena daya pikat yang demikian besar itu pula para penulis muda lokal itu ‘memindahkan’ total semua seting yang memberi pengaruh pada kreativitas mereka. Ini juga tampak pada kisah Ledgard, dan Skinheald. Mulai dari pemilihan nama tokoh, tempat, hingga plot cerita, tidak ubahnya kita tengah menikmati kisah fantasi dari penulis luar.

Jika sebagian besar para penulis mengaku pengaruh terbesar berasal dari daftar bacaan fantasi mereka, Narongkrang justru beralasan agak unik. Penulis muda yang memiliki latar belakang pendidikan akademi pelayaran ini justru mengaku belum pernah membaca karya fantasi epik dunia. Sosok phoenix, burung mitologi yang menjadi tokoh utama ceritanya justru didapatkannya dari mimpi.

Yang agak berbeda adalah Mama Piyo yang melahirkan karya Pinissi. Membaca judulnya orang sudah dapat menebak aroma lokal dalam kisah fantasi ini. Tokoh-tokoh berbau lokal membuat novel ini tampak berbeda dengan sebagian besar novel sejenis dengan nama tokoh yang berbau asing.

Menurut ibu muda berusia 27 tahun ini, novel yang ia hasilkan itu sengaja mengangkat aroma lokal yang kental. Pilihan cerita berbau Sulawesi Selatan semata karena ia berasal dari sana selain untuk mengangkat kisah “nenek moyang” Mama Piyo yang bangsa pelaut.

Liliput, penerbit Pinissi juga mengakui kekuatan novel ini terletak pada orisinalitas karya. Menurut mereka, pilihan menerbitkan genre fantasi dilakukan karena di bidang ini buku asli Indonesia sangat kurang.

Liliput juga mengakui pengaruh kisah-kisah fantasi semacam Harry Potter dan The Lord of the Rings juga sangat kuat. Menurut Liliput, itu tidak bisa dihindari mengingat sejarah penulisan fantasi Indonesia sangat kurang.

Sebagaimana diungkapkan Liliput, kisah fantasi lokal yang ideal tentu saja yang dapat menghidupkan kembali khazanah cerita lokal. Pilihan aroma lokal dalam fantasi buatan dalam negeri ini bisa saja dalam bentuk mengangkat kembali tokoh cerita rakyat yang sudah mengakar di tengah sebuah budaya.

Mereka mengaku sambutan dari para penulis cukup bagus. Sampai saat ini ada sekitar 20 naskah fantasi anak yang dikirimkan ke Liliput. Menurut Liliput, mereka pernah mengembalikan tidak kurang dari 15 naskah ke penulisnya. Menurut mereka, rata-rata kelemahan penulis fantasi lokal adalah pada logika. Mereka memandang, karena ceritanya fantasi, maka logika bisa dijungkirbalikkan.

Kelemahan logika ini juga tampak pada sebagian besar karya fantasi lokal. Alur cerita tidak taat pada ‘rel’, kerap melesak, dan terlempar jauh dari napas asli—sebagaimana juga ditemukan pada novel Phoenix. Sesekali namanama lokal akrab di telinga—namun terasa sangat aneh untuk fantasi epik yang bertaburan nama asing—seperti jalan Marghonda, pasar Bojong dan sebagainya, yang menjadikan novel ini beralur aneh dan ‘liar’.

Boleh ditebak kedekatan tema cerita atau bius kisah asli yang mengikat para penulisnya, membuat mereka sukar bergerak. Akibatnya, untuk melepaskan diri dari jerat fantasi luar, mereka harus ‘berkreasi’ sendiri. Jadilah kisah fantasi yang “belang-belang,” atau sebagaimana yang dicurigai oleh Roberts sebagai “tidak mengarah kemana pun, tidak berpijak pada apa pun, dan tidak menceritakan apa pun kecuali fantasi tanpa kendali.” [angela]


ILHAM DI KEBUN TEH DAN LAIN-LAIN

Sengaja memilih fantasi karena dengan begitu tak akan ada masalah jika ada kemiripan daerah dan profil atau watak tokoh dalam cerita dengan kehidupan nyata.

Di Cianjur, juga di mana pun di Jawa Barat, Narongkrang bukanlah nama yang lazim, dan mungkin lekas membuat dahi orang yang mendengarnya berkerut. Abdullah Muhammad Khaidir Narongkrang sadar hal ini. Tapi dia yakin nama pemberian seseorang yang telah menyelamatkannya dengan cara misterius itu memang klop dengan dirinya. Dengan nama itulah dia menerbitkan buku pertamanya, novel fantasi epik yang proses penulisannya terhitung di-luar-pemahaman-kebanyakan- orang—hampir seperti fantasi pula.

“Di kebun teh di Puncak, di antara rerimbunan daun, saya mendapatkan ilhamnya,” dia berkata dengan suara dan tempo perlahan.

Kebun teh dan gunung biasa didatanginya untuk menyegarkan pikiran, meninggalkan sejenak keriuhan di sekitar tempat tinggalnya di tengah perkampungan padat yang lebih sering mencemoohnya karena memilih menjadi penulis.

Kariernya sebagai penulis memang menghadapi rintangan berat bagi siapa pun: orang tua yang tidak mendukung, yang punya harapan besar lain bagi anaknya. Keputusannya untuk sepenuhnya menjadi penulis, sepulang dari mengikuti pendidikan manajemen di Singapura, pada 2003, makin menjadikannya terasing di tengah keluarganya sendiri. Tapi tekadnya sudah kuat. Tak ada mesin ketik, apalagi komputer, dengan pensil dan kertas pun jadi—begitulah, dia mencurahkan buah lamunan, renungan, dan khayalannya dengan tulisan tangan, berlembarlembar.

Sejak awal pria kelahiran Cianjur 26 tahun lalu itu yakin bukunya yang setebal 531 halaman— judulnya Phoenix: Dalam Mahkota Negeri Azura—pasti terbit. “Karena ceritanya bagus, dan ada keyakinan dalam diri saya,” katanya. Dia juga sudah menyiapkan kerangka untuk empat sekuel yang direncanakannya.

Yang tak terbayangkan justru penulisannya yang makan waktu sampai dua tahun. “Efektifnya sebenarnya hanya sebulan,” katanya. Bukan karena rumit dan begitu banyak karakter atau tokoh dalam cerita yang hendak dia wujudkan. Tekanan akibat sikap keluarganyalah yang menghambat, dan beberapa kali tak tertahankan. “Rongrongan selalu ada kalau saya menulis,” katanya. Karena stres, dia sempat keluar masuk rumah sakit.

Meski begitu, Narongkrang masih bisa melihat sisi baiknya. Waktu yang ada dalam masa-masa penyembuhan memungkinkan dia memikirkan kembali bukunya, termasuk mengubah setting atau latar belakang tempat cerita berlangsung. Semula dia menggunakan dunia nyata. Tapi karena dia melihat orang cenderung tertarik pada dunia lain (“Banyak yang suka acara Dunia Lain, ‘kan?”), diubahnyalah setting cerita menjadi dunia maya.

***

Penulis lain, W.D. Yoga dan Mama Piyo punya cerita yang berbeda. Seperti halnya Narongkrang, Yoga dan Mama Piyo memilih untuk menyimpan nama aslinya dari pengetahuan orang kebanyakan. “Saya ‘kan penulis fiksi fantasi. Biarlah semuanya tetap menjadi misteri,” kata Yoga, yang juga menolak difoto. Begitu pula alasan Mama Piyo. Tapi keduanya tak menutup-nutupi poses kreatif masing-masing.

Yoga, yang lahir di Yogya pada 11 Mei 1981, melahirkan cikal bakal Ledgard: Musuh dari Balik Kabut di mailing list Fantasi Indonesia. Komentar, kritik, dan masukan dari anggota milis menjadi bahan untuk perubahan dan perbaikan yang terus-menerus dilakukannya. “Jadi, cerita yang saya buat itu nggak pernah selesai,” kata mahasiswa S2 hubungan internasional Universitas Gajah Mada ini.

Yang selalu tetap di situ adalah, judul asli (Ledgard), setting, dan nama-nama tokoh. Penambahan-penambahan lebih banyak menyangkut alur detailnya. Yoga memberi contoh ada tokoh tertentu disebutkan mati. Lalu dia menambahkan matinya bagaimana, sebelum mati berkata apa, dan sebagainya.

Sejak mulai menuliskannya, Yoga menjadikan bukunya sebagai cermin kehidupan nyata. Dia sengaja memilih fantasi karena dengan begitu tak akan ada masalah jika, misalnya, ada kemiripan daerah dan profil atau watak tokoh di dalamnya dengan kehidupan nyata. Selain itu, dia percaya setting antah- berantah bisa lebih mengena. “Ide ceritanya berasal dari pengalaman sehari- hari,” katanya.

Sebagai simbol bermacam watak manusia dalam kehidupan nyata, Yoga menciptakan bangsa-bangsa. Beberapa di antaranya dia ambil dari mitologi, misalnya kurcaci, Centaur, dan peri. Yang lain dia ciptakan sendiri, yaitu Felis, Ae Sirri, Latlian. Dia mencontohkan sosok Karra, satu di antara tokoh-tokoh penting yang berasal bangsa Felis. Dengan detail dia gambarkan (dalam arti sebenarnya) penampakan fisiknya dan deskripsikan bagaimana tingkahnya.

Nama juga tak dipilih sembarangan. Yang menjadi pertimbangan, biasanya, sifat apa yang hendak dimunculkan. Kucing, misalnya. Yoga melihat kucing sebagai binatang yang licik. “Kalau kita mengelus-elus kucing, tidak jelas siapa diperbudak siapa.” Dengan pertanyaan kunci bagaimana kalau ada makhluk berfisik mirip kucing tapi suka intrik. Hasilnya kaum Felis itulah.

Dia tak terlalu mempedulikan kritik bahwa tokoh-tokoh novelnya tidak mengindonesia. Wayang, menurut dia, juga sebenarnya asing — dari India. Baginya, karakter Indonesia itu bagaimanapun akan muncul dari pribadinya yang orang Indonesia dari suku Jawa dan beragama Islam.

Berbeda dengan Narongkrang, Yoga mengaku terinspirasi The Lord of the Rings, karya besar J.R.R. Tolkien. Buku ini, juga dongeng-dongeng karya H.C. Andersen dan beberapa penulis lain, termasuk di antara bacaan awalnya. “Kalau dikatakan mengekor The Lord of the Rings, saya rasa tidak,” katanya.

Pengaruh The Lord of the Rings — di samping Harry Potter, Eragon, bahkan Abu Nawas dan mitologi Yunani — juga diakui oleh Mama Piyo. Tapi ibu satu anak berusia 27 tahun ini sejak awal memilih meletakkan cerita rekaannya tak jauh-jauh dari kampung halamannya, Sulawesi Selatan. Dia mengaku memang ingin mengangkat legenda tentang “nenek moyangku seorang pelaut”.

Kisah dalam Pinissi: Petualangan Orangorang Setinggi Lutut bermula dari sebuah pertemuan antara dua pecinta sastra pada September 2004. Mereka — seorang di antaranya penulis beberapa novel — mengobrol di sebuah warung kopi antara lain tentang buku Harry Potter yang waktu itu sedang booming. Mereka lalu sampai pertanyaanpertanyaan ini: Kenapa tidak ada cerita fantasi dari Indonesia? Kenapa tidak memanfaatkan booming-nya cerita- cerita fantasi luar negeri untuk mengangkat cerita fantasi dalam negeri seperti yang berhasil dilakukan dengan chicklit?

Sang penulis menantang dengan telak. “Kenapa tidak kamu sendiri yang menulisnya?”

Yang ditantang, tak lain adalah Mama Piyo sendiri, sama sekali tak mengkeret. Maka diskusi pun berlanjut dengan mencari-cari apa yang bisa diangkat, cerita seperti apa yang khas Indonesia tapi menarik dan tidak terkesan mengambil cerita-cerita yang sudah ada. “Saat itu juga kami sudah menemukan judul untuk cerita itu: Pinissi,” kata Mama Piyo.

Penciptaan tokoh dan dunia imajinya, serta riset, dilakukan bersamaan dengan penulisan, dan berlangsung selama enam bulan. Nama Pinissi seketika terlintas dalam pikiran begitu memilih cerita tentang petualangan laut. Karenanyalah nama-nama dan ornamen Sulawesi yang digambarkan di kampungkampung pinggir pantai ikut masuk. “Tentang orang-orang setinggi lutut,” Mama Piyo menjelaskan, “ide awalnya muncul dari penemuan manusia kate di Nusa Tenggara yang membuat geger para ilmuwan di seluruh dunia.”

***

Yoga membangun ceritanya melalui proses interaktif yang matang selama beberapa tahun, sedangkan Mama Piyo membawa gagasan dari sebuah obrolan antarkenalan dan kemudian menatah bentuk utuhnya perlahan-lahan. Ini cara-cara yang juga digunakan dalam penulisan fiksi nonfantasi.

Pengalaman Narongkrang pun sulit dibilang khas penulisan fantasi (dan di Indonesia). Di samping bahanbahan yang sudah disimpannya sejak lama, Narongkrang sempat menjalani pengalaman spiritual (barangkali) yang mengukuhkan tekadnya sekaligus menambahkan ide-ide baru. Dia mengaku belum pernah membaca The Lord of the Rings dan The Chronicles of Narnia, juga Harry Potter. Sosok phoenix, burung mitologi yang kerap masuk ke dalam cerita- cerita fantasi, dia ketahui justru dari mimpi.

Meski begitu, proses yang mana pun — terlepas dari asal-usul idenya, bagaimana cara mewujudkannya, dan seperti apa hasilnya — mereka itu, dan pengarang- pengarang lainnya, sudah menunjukkan bahwa menulis cerita fantasi dengan setting akbar bisa dilakukan oleh siapa pun. Dan di mana pun, termasuk di Indonesia dan bagian-bagian wilayahnya. Cerita fantasi demikian ini bukanlah sesuatu yang menggantung di langit ketujuh. [pur | heru cn | qaris]


BERANGAN MENGEJAR POTTER

Mengisi kekosongan cerita fantasi epik lokal.

Deretan rak pajang toko-toko buku kini tak lagi hanya diisi oleh nama- nama besar seperti J.R.R. Tolkien, J.K. Rowling, dan C.S. Lewis. Ada nama-nama baru, seperti Narongkrang, WD Yoga, Ataka, Stanley, juga Mama Piyo, yang mencoba menyisip di antara nama besar yang sekian lama menyita habis perhatian pembaca domestik. Mereka tak lain anak-anak muda yang kini sedang menetap di Yogyakarta, Cianjur, dan Jakarta dan mengangankan dunia antah-berantah.

Nama A.M.K. Narongkrang ditemukan oleh Voila Books, lini Penerbit Hikmah, melalui internet. Ia menawarkan sebuah naskah cerita, dan tertariklah Voila Books. “Kami baca, dan bagus. Selama ini kita kan terpukau oleh karyakarya mahabesar, seperti Harry Potter. Ternyata ada orang Indonesia yang bisa menulis seperti itu,” kata M. Deden Ridwan, Manajer Eksekutif Hikmah. Karya Narongkrang ini diterbitkan karena, dalam penilaian Deden, “Isinya sangat fantastis, memukau, imajinatif.”

Tanpa banyak editing, kecuali—menurut Deden—dalam hal diksi, jadilah Phoenix diterbitkan. Karya perdana Narongkrang ini diedarkan September tahun lalu dengan cetakan pertama sebanyak 3.000 eksemplar-standar produksi buku edisi pertama di Indonesia. Banyakkah peminatnya? “Relatif baik,” kata Deden, “Yang terjual sudah melampaui 1.500 (eksemplar).” Ia yakin bila ditunjang dengan promosi yang gencar, angka penjualan bisa lebih tinggi.

Mengisi kekosongan pasar, begitulah agaknya pertimbangan untuk menerbitkan novel fantasi epik. Penerbit Liliput, umpamanya. Sebagai pendatang baru penerbit ini sudah bertekad untuk fokus pada buku anak-anak, lebih khusus lagi genre fantasi. Kendati baru berusia satu tahun, Liliput sudah menerbitkan 28 judul buku, separo di antaranya terjemahan. Salah satu produk domestiknya ialah serial Pinissi. “Kami memilih genre fantasi karena di bidang ini buku asli Indonesia sangat kurang. Padahal, sebenarnya Indonesia kaya dengan hal-hal yang berbau fantasi,” ujar Anasrullah.

Anas mengaku, setelah fokus pada fantasi, sambutan dari para penulis cukup baik. Naskah mengalir dari para penulis. “Saat ini ada sekitar 20 naskah fantasi naskah yang dikirim ke Liliput,” ucapnya. Yang sudah terbit, Pinissi: Petualangan Orang-orang Setinggi Lutut, lalu Hantu Kotak-kotak (Tria Ayu), Clara (Imam Risdianto), Ozzo Feres yang Hilang (IBG Wiraga). Sedang yang akan terbit adalah Catatan Harian Alien (Dinda Swasti). Pinissi dicetak seribu eksemplar, dan kini siap dicetak ulang.

C-Publishing, penerbit yang bernaung di bawah Bentang Pustaka dan kelompok Mizan, turut meramaikan “dunia fantasi” ini. Menurut Gangsar Sukrisno, General Manager C-Publishing Yogyakarta, naskah seperti Ledgard jarang ada, padahal tema fantasi cukup punya penggemar. Selain pertimbangan pasar, Kris menilai karya WD Yoga itu bermanfaat sebagai dokumen sejarah sastra Indonesia. “Novel ini kami cetak 2.000 eksemplar dan kami edarkan sejak November lalu,” ujar Kris yang mengaku memperoleh informasi mengenai naskah ini dari salah satu anggota milis penggemar fiksi fantasi.

Menurut Kris, genre fantasi lokal mempunyai peluang besar untuk merebut perhatian pembaca buku. “Fantasi adalah tema yang sangat terbuka untuk diakses siapa saja,” ujarnya. Kendati begitu, pihaknya baru menerbitkan satu judul saja. “Belum ada yang lain, tapi akan ada.”

Beranjak dari keinginan untuk mencari penulis potensial, penerbit Alenia yang juga berbasis di Yogyakarta menerbitkan Misteri Pedang Skinheald, karya penulis belia, siswa SMP, Ataka Awwalurrizqi. Tanpa pikir panjang dan tanpa banyak penyuntingan naskah. “Kebetulan naskahnya sudah runtut. Jadi tim editor kami tidak perlu repotrepot memperbaikinya,” kata Jhon Suharyoto, Manajer Pemasaran Penerbit Alenia. John menyebutkan, hanya butuh waktu dua pekan untuk memproses penerbitan Misteri.

Karya Ataka ini sudah dua kali naik cetak. Edisi perdana terbit Juli 2005 sebanyak 1.500 eksemplar. Edisi kedua dicetak dengan jumlah yang sama. “Pemasarannya memang masih terkonsentrasi di Yogya. Alhamdulillah, buku Ataka itu cukup laris,” katanya. Dari respons pasar yang bagus ini, Alenia memutuskan akan memperluas wilayah pemasaran Seri ke-2 Misteri, yang dijadwalkan terbit Januari ini, ke Jakarta dan Bandung.

Gairah untuk menulis novel fantasi epik ini tampaknya memang sedang menanjak. Namun, perkara mendapatkan naskah yang bagus tetap belum terpecahkan. Anas dari Penerbit Liliput, misalnya, mengaku banyak menerima kiriman naskah fantasi, tapi ia mengembalikan 15 naskah kepada para penulisnya untuk diperbaiki. Begitu pula Deden terpaksa belum menerbitkan banyak naskah lantaran faktor kualitas yang belum memenuhi standar kelayakan.

Kelemahan penulis fantasi kita, menurut Anas, terletak pada logika. “Mereka biasanya memandang, karena ceritanya fantasi, logika pun bisa dijungkirbalikkan. Padahal logika kan harus dijaga,” tuturnya.

Anas juga menilai, naskah-naskah yang masuk umumnya sangat terpengaruh oleh kisah-kisah fantasi dari luar seperti Harry Potter dan The Lord of the Rings. Tapi, menurut dia, pengaruh kuat dari luar itu niscaya dan tak bisa dihindari. “Untuk sementara ini, hal itu tetap berguna,” kata Anas. “Sejarah penulisan fantasi modern kita kan kurang, jadi pasti pengaruhnya dari luar.”

Kisah fantasi Indonesia yang ideal, dalam pandangan Anas, ialah yang bisa merevitalisasi khazanah cerita lokal. Tentu saja, bukan dengan menceritakan kembali legenda-legenda itu dengan sama persis. “Mungkin dengan diambil tokoh-tokohnya, kemudian dibuat karakter yang baru,” kata Anas, “Di luar negeri, hal itu biasa dilakukan dan penulis berani melakukannya. Di sini mungkin penulisnya takut kalau tokoh yang sudah melegenda di masyarakat dibuat berbeda.”

Gairah memang terus melonjak. Tapi, menurut Anas, “Saya pikir tidak ada ledakan dalam genre fantasi lokal seperti pada chicklit lokal. Kalaupun ada, mungkin hanya ledakan kecil.” Alasannya, pembaca genre fantasi lebih terbatas. “Lagi pula, cerita fantasi punya kerumitan yang lebih dibanding chicklit.”

Jadi, mengejar oplah Harry Potter yang jutaan eksemplar untuk sementara baru fantasi belaka. Kendati begitu, semangat tak boleh luntur. Ini baru awal. [OLIVIA SINAGA I HERU C. NUGROHO I QARIS]


PARA PENULIS MUDA

Karya ini segera saja menjadi klasik. Tiga film pun pernah dibuat atas karya yang terdiri tiga bagian ini.

Tolkien menulis Lord of the Rings dan pernik-perniknya dari satu niat mulia. Profesor yang memahami betul mitologi Eropa Utara ini disadarkan bahwa Inggris, negerinya sendiri, tidak memiliki kekayaan mitologi seperti negeri Skandinavia. Jadi, mengapa tidak membuat mitologi sendiri saja?

Dengan segala kemampuan yang dimiliki, Tolkien menyelesaikan The Lord of the Rings lengkap dengan latar belakang wilayah sampai bahasa. Karya ini segera saja menjadi klasik. Tiga film pun pernah dibuat atas karya yang terdiri tiga bagian ini.

Kisah Tolkien ini berbeda dengan para penulis cerita fantasi di Indonesia. Bukan hanya karena mereka masih (sangat) muda. Tapi niatnya juga berbeda. Mereka menulis karena mereka suka dengan cerita-cerita fantasi. Usia yang masih muda juga membuat riset mereka sangat terbatas.

Ini sejumlah penulis yang mulai mendongeng fantasi ini.

AHMAD ATAKA AWWALUR RIZKI

Mengarang Dengan Tulisan Tangan
Tubuhnya kecil mungil. Dengan tinggi 127 cm dan berat badan 25 kilogram, Ataka sepertinya tak pantas duduk di kelas 2 SMP 5 Yogyakarta. Fisiknya seperti anak-anak usia SD saja. Tas punggung di pundaknya tampak kebesaran membenani tubuhnya yang mungil.
Tapi ia, Ahmad Ataka Awwalur Rizki, adalah novelis. Dua buku sudah beredar, Misteri Pembunuhan Penggemar Harry Potter yang bergaya detektif dan Misteri Pedang Skinheald yang ceritanya ala Lord of the Rings.
Remaja ini mulai menulis karena gemar membaca. Ataka terpikat dengan buku sejak duduk di sekolah dasar. Semua majalah anak-anak yang dibelikan orang tuanya selalu dibaca tuntas. Komik-komik mulai dijarah. Tapi novel ia baca “agak” terlambat. Baru kelas 4 sekolah dasar.
Ini dimulai setelah ia kurang puas menonton film Harry Potter di VCD. Ia meminta ayahnya membelikan buku laris itu. Dipikir berbentuk komik, seperti yang biasa ia baca, ternyata tidak. “Kok isinya tulisan tok? Wah, coba saya baca, dan ternyata saya sangat suka,” katanya.
Imajinasinya terus muncul. Sejak kelas lima sekolah dasar ia mulai gemar menulis. Dengan tulisan tangan karena belum memiliki komputer dan tinggal di satu desa di Banyuwangi, Jawa Timur, belum di Yogyakarta seperti sekarang.
Kelas enam mulai menyusun Misteri Pedang Skinheald, kelar setahun kemudian saat sudah berganti seragam menjadi biru. “Soalnya nulisnya nggak tiap hari,” katanya.
Naskahnya ia tulis tangan. Ayahnya, Taufiqqurahman, membawa ke seorang teman yang anggota Akademi Kebudayaan Yogyakarta dan teman itu menawarkan ke penerbitan. Jadilah buku itu dijual.
Sebagai bocah kelas 2 SMP, tentu saja senang sudah bisa menghasilkan uang dari keringat sendiri. Uang itu pun dibelanjakan dengan baik. “Sebagian royalti saya berikan orangtua, sebagian lagi untuk beli buku, menambah koleksi buku-buku bacaan saya,” katanya. [HERU C NUGROHO]

STANLEY TIMOTIUS KURNIA

Satu Buku Setiap Tiga Hari
Di saat remaja berusia 17 tahun lain di Indonesia masih tertatih-tatih membedakan “where have you been” dengan “where do yo come from” di kelas, Stanley Timotius Kurnia sudah menerbitkan novel berbahasa Inggris setebal 300-an halaman. Ini memang prestasi luar biasa. Prestasi ini dipupuk lingkungan yang tepat dan pendidikan di salah satu sekolah terbaik negeri ini.
Seperti penulis lain, Stanley memulai dari kesukaan membaca sejak sekolah dasar. “Saat duduk di kelas satu sekolah dasar, saya membaca 100 buku dalam setahun,” katanya. Berarti, jika dihitung, rata-rata ia melahab satu buku setiap tiga hari sekali. Padahal beberapa bukunya bukan yang enteng. Misalnya Narnia karya C.S. Lewis atau buku-buku Tolkien. Malah, karya Shakespeare pun ia gemari.
Keinginan untuk menulis makin mengusik saat ia mulai membaca Harry Potter karya J.K Rowling beberapa tahun belakangan. “Menyenangkan pasti kalau bisa menulis kisah seperti itu,” kenangnya.
Jika dibaca sepintas, tema yang dipilih Stanley memang tidak beranjak jauh dari kecenderungan fiksi epik yang belakangan digemari pembaca. Kisah dunia sihir, petualangan menaklukkan kekuatan jahat, orang kerdil, dan mantra, menjadi ramuan utama cerita genre ini.
Ia benar-benar menulis karena sekolah tempatnya menuntut ilmu, SMU Pelita Harapan, meminta setiap siswa kelas dua membuat proyek pribadi yang sulit. Stanley pun memilih menulis novel berbahasa Inggris ala Lord of the Rings dengan judul The Corruption.
Ia menggunakan bahasa Inggris karena, katanya, “Saya tidak begitu mahir menggunakan kosa kata bahasa Indonesia.” Ia tidak sok bergaya tapi karena masa kecil sampai remaja dihabiskan di Amerika Serikat.
Proyek menulis fiksi itu akhirnya berhasil ia rampungkan meski waktunya molor agak jauh dari jadwal yang ditetapkan sekolah. “Saya mendapat nilai tertinggi di kelas,” katanya.
Tak habis sampai di sana, Stanley memutuskan untuk menjual karya pertamanya itu. “Supaya makin banyak orang yang dapat membaca,” kata remaja yang gemar bermain biola ini. [ANGELA]

WD YOGA

Ingin (Bergaya) Misterius
Dibanding beberapa rekan seperti A. Ataka A.R. atau Stanley, penulis Ledgard menjadi begitu senior. WD Yoga, si penulis, sudah 24 tahun. Mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Bukan siswa sekolah menengah.
Gaya mahasiswanya muncul. Misalnya, ia enggan mempublikasikan nama asli atau fotonya. “Saya kan penulis fiksi fantasi, biarlah semuanya tetap menjadi misteri. Karena itu saya tidak ingin nama lengkap saya disebutkan, juga tidak ingin difoto,” tegasnya. Di Ledgard pun tidak ada foto atau nama lengkap.
Ledgard bukan buku pertamanya. Ia pernah menerbitkan kumpulan cerpen, baik sendiri maupun bersama teman-temannya. Hobi menulis sendiri sejak kelas 2 SMP, setelah memiliki komputer.
Ia pernah mengelola milis penggemar cerita fantasi. Cerita yang ia tulis, dimuat. Teman berkomentar, memberi masukan. Ledgard pun tidak pernah selesai. Dari milis ini, sebuah penerbit mengenal dan mencetak bukunya.
Yang sama dengan Ataka atau Stanley hanya satu: buku. Ada sekitar 200 judul buku dalam kamarnya. Koleksi komiknya, yang ia gemari sejak anak-anak, sudah disumbangkan. “Daripada nganggur di sini,” katanya. [HERU C NUGROHO]


PINISSI

Pinissi sebelumnya menganggap hari sial tidak benar-benar ada. Hingga saat badai datang menghantam kapal tempat ayahnya bekerja sebagai koki. Hari itu Pinissi harus dibuang ke laut karena ia adalah pembawa sial, makhluk blaseteran peri dan manusia. Di laut ia diselamatkan oleh ular raksasa, lalu terdampar di negeri orang-orang setinggi lutut.

Di negeri inilah ia berubah menjadi pemberani. Bola kristal jelmaan Roh Lepe, roh keabadian, yang berada di tangan Pinissi, membuatnya memasuki petualangan beru. Diburu Gergasi Penjaga Api, berhadapan dengan burung Albatros. Dengan bantuan orang-orang pendek itu Pinissi menghadapi semua bahaya.

TOKOH

PINISSI, anak umur sembilan tahun, blasteran peri dan manusia.

Kola, Koli, dan Kole, teman Pinissi, anak dari kaum orang-orang setinggi lutut.

KORA, ular raksasa di laut yang menyelamatkan Pinissi.

ALBATROS, burung raksasa, kutukan Raja Salom yang kejam.

DAMPU AWAN, empu pandai besi di Tanah Banglo.

MANUSIA BONGKOK, pembantu raja di istana Tanah Banglo

GERGASI, raksasa kejam berbulu dan tubuhnya penuh benjolan.

LOKASI

KAMPUNG ORANG-ORANG SETINGGI LUTUT, kawasan misteri yang tak diketahui gergasi dan makhluk jahat

SEMENANJUNG TAK BERNAMA, daerah di laut yang paling mengerikan karena badai kutukan sering datang.

TANAH BANGLO, negeri pusat cerita. Di sini awalnya hanya manusia yang tinggal hingga Raja Ampuh menikahi seorang peri Lunta.

KAMPUNG NANYANG, salah satu kampung di Tanah Banglo yang terancam diserang raksasa gergasi.


Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-Share Alike 2.5 License.